Sabtu, 26 November 2011

Sejarah Karawitan


Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrument sebagai pernyataan musical yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa jawa rawit berarti rumit, berbelit – belit, tetapi rawit juga bararti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada nondiatonis ( dalam laras slendro dan pelog ) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memilikia fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.
Seni gamelan jawa mengandung nilai-nilai histories dan filsofis bagi bangsa Indonesia. Dikatakan demikian sebab gamelan jawa merupakan salah satu seni budaya yang siwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta ditekuni. Secara Hipotesis, masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan gamelan. Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001). Secara filosofis gamelan jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikaian disebabkan filsafat hidup masyarakt Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jwa serta berhubungan dekat dengan perkembangan religi yang dianutnya.
Istilah gamelan telah lama dikenal di Indonesia, sudah disebut pada beberapa kakawin Jawa Kuno. Arti kata gamelan, sampaio sekarang masih dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga kata gamelan terjadi dari pergeseran atau perkembangan dari kata gembel. Gembel adalahalat untauk memukul. Karena cara membunyikan instrumen itu dengan dipukul-pukul. Barang yang sering dipukul namanya pukulan, barang yang sering diketok namanya ketokan atau kentongan, barang yang sering digembal namanya gembelan. Kata gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan. Mungkin juga karena cara membuat gamelan itu adalah perunggu yang dipukul-pukul atau dipalu atau digembel, maka benda yang sering dibuat dengan cara digembel namanya gembelan, benda yang sering dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya gembelan berkembang menjadi gamelan. Dengan kata lain gamelan adalah suatu benda hasil dari benda itu digembel-gembel atau dipukul-pukul (Trimanto,1984).
Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).
( Diambil dari buku Seni Karawitan Jawa, Dr. Purwadi, M.Hum dan Drs. Afendy Widayat. 2006 )

Sunan Gunung Jati


Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. 

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. 
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. 
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n

Sunan Kudus


Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. 
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. 
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. 
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.      
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. 
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Muria


Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya  berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota  untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru.
Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Sunan Kalijaga


Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. 
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. 
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. 
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. 
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. 
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Sunan Drajat


Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.

Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

Sunan Bonang


Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. 
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. 
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang. 
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. 
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. 
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. 
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).

Sunan Giri


Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

 Silsilah
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.
 Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
 Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Sunan Ampel


Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya.
Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu bukan yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh.
Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri. Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.
Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial.

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Agama Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang kemudian dianugrahi gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah sosok ulama pertama yang diberi gelar sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.
 Penyebaran Agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.
Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.
Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah.
Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
 Legenda Rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
 Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.

Tentang Walisongo

 
"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. 
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan. 
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata. 
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. 
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

Jumat, 25 November 2011

Membuka Ilmu Kasampurnan

Ketika selesai membangun pesantren, Raden Paku teringat salah satu bungkusan yg harus dibukanya. Ia ingat kata2 ayahnya kalau bingkisan itu berisi rahasia ilmu sejati yg harus dibacanya. Dengan hati2 dibukanya bungkusan tsb. Didalamnya ada beberapa lembar daun lontar bertuliskan huruf arab pegon. Segera dibacanya tulisan tsb.

A. Tentang Macam Ilmu Manusia.

Adalah suatu yg pasti terjadi anakku, ketahuilah ini, renungkan demi kasampurnaan ilmumu. Di dunia ini, entah kapan, sakit, dan mati pasti terjadi. Maka hendaklah waspada, tidak urung kita juga akan mati, jangan lupa pada sangkan paran dumadi. Untuk itu, di dunia ini hendaklah selalu prihatin. Agar benar2 sempurna engkau berilmu.

Dalam memperbincangkan ilmu kasempurnaan ini, jangan lupa arti bahasanya jika engkau mempertanyakannya. Karena mengetahui arti bahasa adalah kuncinya. Kesungguhanlah yg pasti, itulah yg perlu benar2 engkau mengerti. Jangan takut pd biaya. Bukan emas, bukan dirham, dan bukan pula harta benda. Namun hanya niat ikhlas saja yg diperlukan.

Adapun ilmu manusia itu ada 2, anakku. Yang pertama adalah ilmu kamanungsan yg lahir daru jalan indrawi dan melalui laku kamanungsan. Yang kedua adalah ilmu kasampurnaan yg lahir melalui pembelajaran langsung dari Sang Khalik. Untuk yg kedua ini, ia terjadi melalui 2 cara, yaitu dari luar dan dari dalam. Yang dari luar, dilalui dg cara belajar. Sedangkan yg dari dalam, dilalui dg cara menyibukan diri dg jalan bertapa ( bertafakur ).

Adapun bertafakur secara batin itu sepadan dg belajar secara lahir. Belajar memilki arti pengambilan manfaat oleh seorang murid dari gerak seorang guru. Sedangkan tafakur memilki makna batin, yaitu suksma seorang murid yg mengambil manfaat dari suksma sejati, ialah jiwa sejati.

Suksma sejati dalam olah ngelmu memilki pengaruh yg lebih kuat dibandingkan berbagai nasehat dari ahli ilmu dan ahli nalar. Ilmu2 seperti itu tersimpan kuat pada pangkal suksma, bagaikan benih yg tertanam dalam tanah, atau mutiara di dasar laut.

Ketahuilah anakku, kewajiban orang hidup tidak lain adalah selalu berusaha menjadikan daya potensial yg ada di dalam dirinya menjadi suatu bentuk aksi (perbuatan) yg bermanfaat. Sebagaimana engkau juga wajib mengubah daya potensial yg ada dalam dirimu menjadi perbuatan, melalui belajar. Sejatinya dalam belajar, suksma sang murid menyerupai dan berdekatan dg suksma sang guru. Sebagai yg memberi manfaat, guru laksana petani. Dan sbg yg meminta manfaat, murid ibarat bumi atau tanah.

Anakku ketahuilah, ilmu merupakan kekuatan seperti benih atau tepatnya seperti tumbuh2an. Apabila suksma sang murid sudah matang, ia akan menjadi seperti pohon yg berbuah, atau seperti mutiara yg sudah dikeluarkan dari dasar laut. Jika kekuatan badaniah mengalahkan jiwa, berarti murid masih harus terus menjalani laku prihatin dalam olah ngelmu dg menyelami kesulitan demi kesulitan dan kepenatan demi kepenatan, dalam rangka menggapai manfaat.

Jika Cahaya Rasa mengalahkan macam2 indra, berarti murid lebih membutuhkan sedikit tafakur ketimbang banyak belajar. Sebab suksma yg cair atau dalam bahasa arab dsb nafs al-qabil akan berhasil menggapai manfaat walau hanya dg berfikir sesaat, ketimbang proses belajar setahun yg dilakukan oleh suksma yg beku nafs al-jamid.

Jadi, engkau bisa meraih ilmu dg cara belajar, dan bisa juga mendapatkannya dg cara bertafakur. Walaupun sebenarnya dalam belajar itu juga memerlukan proses tafakur. Dan dg tafakur engkau tahu manusia hanya bisa mempelajari sebagian saja dari seluruh ilmu dan tidak bisa semuanya.

Banyak ilmu2 mendasar atau yg dsb annazhariyyah dan penemuan2 baru, berhasil dikuak oleh orang2 yg memilki kearifan. Dg kejernihan otak, kekuatan daya fikir dan ketajaman batin, mereka berhasil menguak hal2 tsb tanpa proses belajar dan usaha pencapaian ilmu yg berlebihan.

Dg bertafakur, manusia berhasil menguak ajaran sangkan paraning dumadi . Dg begitu terbukalah asumsi dasar dari keilmuan sehingga persoalan tidak berlarut2 dan segera tersingkap kebodohan yg menyelimuti kalbu.

Seperti telah kuberitahukan sebelumnya anakku, suksma tidak bisa mempelajari semua yg di inginka, baik yg bersifat sebagian ( juz’i / parsial ) maupun yg menyeluruh ( kulli / universal ) dg cara belajar. Ia harus mempelajari dg induksi, sebagian dg deduksi sebagaimana umumnya manusia dan sebagian lagi dg analogi yg membutuhkan kejernihan berfikir. Berdasarkan hal ini, ahli ilmu terus membentangkan kaidah2 keilmuan.

Ketahuilah anakku.
Seorang ahli ilmu tidak bisa mempelajari apa yg dibutuhkan seluruh hidupnya. Ia hanya bisa mempelajari keilmuan umum dan beragam bentuk yg merupakan turunannya dan hal itu menjadi dasar untuk melakukan qiyas terhadap berbagi persoalan lainnya. Begitu pula para tabib, tidaklah bisa mempelajari seluruh unsur obat2an untuk orang lain. Meraka hanya mempelajari gejala2 umum. Dan setiap orang diobati menurut sifat masing2 Demikian juga para ahli perbintangan, mereka mempelajari hal2 umum yg berkaitan dg bintang, kemudian berfikir dan memutuskan berbagai hukum.

Demikian juga halnya seorang ahli fikih dan pujangga. Begitu seterusnya, imajinasi dan karsa yg indah2 berjalan. Yang satu menggunakan tafakur sbg alat pukul, semacam lidi, sedangkan yg lain menggunakan alat bantu lain untuk merealisasikan.

Anakku jika pintu suksma terbuka, ia akan tahu bagaimana cara bertafakur dg benar dan selanjutnya ia bisa memahami bagaimana merealisasikan apa yg diinginkan. Karena itu hati pun menjadi lapang, pikiran jadi terbuka dan daya potensial yg ada dalam diri akan lahir menjadi aksi (perbuatan) yg berkelanjutan dan tak mengenal lelah.

B. Memahami Ilmu Kasampurnaan.

Ketahuilah anakku bahwa ilmu kasampurnaan itu ada 2 macam,

Pertama, diberikan melalui wahyu.

Apabila suksma manusia telah sempurna, niscaya akan sirna segala sesuatu yg dapat mengotori watak, seperti halnya sikap rakus dan impian semu. Suksma akan menghadap Sang Pencipta, merengkuh cintaNya dan berharap manfaat serta limpahan cahayaNya.

Allah akan menyambut suksma itu secara total. Tatapan Ketuhan memandanginya dan menjadikannya seperti papan. kemudian Allah akan menjadikan pena dari suskma sejati. Dan pena itu diukirkan ilmu pada papan tadi.

Suksma sejati laksana guru, suksma manusia suci ibarat sang murid. Sehingga dicapailah seluruh ilmu, dan padanya semua bentuk terukir tanpa proses belajar maupun berfikir. Dalilnya : “Dan Dialah yg mengajarkanmu apa2 yg tidak kamu ketahui” (QS. An-Nisa:213).

Ilmu para nabi lebih tinggi derajatnya dibandingkan ilmu mahluk2 yg lain. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari YME tanpa perantara. Kau bisa memahami dalam kisah para malaikat dg kanjeng Nabi Adam. Sepanjang usianya para malaikat terus belajar. Dan dg berbagi cara mereka berhasil mendapatkan banyak macam ilmu, sehingga mereka menjadi mahluk yg paling berilmu dan mahluk paling berpengetahuan.

Sementara itu Adam tidaklah tergolong ahli ngelmu karena ia tidak pernah belajar dan berjumpa dg seorang guru. Malaikat bangga dan dg besar hati mereka berkata:” padahal kami Senantisa bertasbih dg memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (QS. Al-Baqarah:30).

Kanjeng Nabi Adam kembali menuju Sang Pencipta. Lantas beberapa bagian dalam hati Kanjeng Nabi oleh Allah dikeluarkan ketika ia menghadap dan memohon pertolongan kepada Tuhan. Lalu Allah ajarkan seluruh nama2 benda. “Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat, lantas Allah berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama benda2 itu jika kamu memang orang2 yg benar” (QS. Al-Baqarah:31).

Ketahuilah, malaikat menjadi kerdil dihadapan Adam. Ilmu mereka menjadi terlihat sempit. Mereka tak bisa berbangga dab besar hati, justru yg ada hanya rasa tak berdaya. “Maha Suci Engkau, tidak ada yg kami ketahui selain dari apa yg Engkau ajarkan kpd kami” (QS. Al-Baqarah:32).

Maka kepada mereka Adam diberitahukan bbrp bagian ilmu dan hal2 yg masih tersembunyi. Akhirnya jelaslah bagi kaum berakal, bahwa ilmu gaib yg bersumber dari wahyu lebih kuat dan lebih sempurna dibandingkan ilmu yg diperoleh dg penglihatan langsung.

Ilmu yg diperoleh melalui wahyu merupakan warisan dari hak para nabi. Namun mulai masa Kanjeng Nabi Muhammad pintu wahyu telah ditutup oleh Allah. Sebab Muhammad adalah penutup para nabi. Dia mewakili sosok paling berilmu dan paling fasih dikalangan manusia. Allah telah mendidiknya dg budi pekertinya menjadi baik.

Ketahuilah anakku, Ilmu Rasul itu lebih sempurna, lebih mulia, dan kuat. Karena ilmu tsb diperoleh langsung dari Sang Khalik. Beliau sama sekali tidak pernah menjalankan proses belajar-mengajar insani.

Ilmu Kasampurnaan yg Kedua,

disampaikan sebagai ilham yaitu peringatan suksma sejati terhadap suksma manusia berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan dan daya kesiapannya. Ilham boleh dikatakan mengiringi wahyu. Kalau wahyu merupakan penegasan perkara gaib, maka ilham merupakan penjelasannya. Ilmu yg diperoleh dg wahyu itulah sejatinya ilmu kenabian, sedangkan yg diperoleh dg ilham itulah sejatinya ilmu kewalian.

Ilmu kewalian diperoleh secara langsung, tanpa perantara antara suksma dan Sang Pencipta. Ilmu Kasampurnaan itu laksana secercah cahaya dari alam gaib, yang datang menerpa hati yg jernih, hampa dan lembut.

Semua ilmu merupakan produk pengetahuan yg diperoleh dari suksma sejati yg terdapat dalam inti sangkan paraning dumadi
dg menisbatkan pada RASA SEJATI, seperti penisbatan Siti Hawa kepada Kanjeng Nabi Adam.

Ketahuilah anakku, rasa sejati lebih mulia, lebih sempurna dan lebih kuat dari disisi Allah dibandingkan suksma sejati. Sedangkan suksma sejati lebih terhormat, lebih lembut dan lebih mulia dibandingkan mahluk2 lain.

Adapun ilham itu terlahir dari melimpahnya rasa sejati dan juga terlahir dari melimpahnya pancaran sinar suksma sejati. Jika wahyu menjadi perhiasan para nabi, maka ilham menjadi perhiasan para wali. Adapun ilmu yg diperoleh dari wahyu adalah sebagaimana suksma tanpa rasa atau wali tanpa nabi. Begitu pula ilham tanpa wahyu akan menjadi lemah. Ilmu akan menjadi kuat jika dinisbatkan kepada wahyu yg bersandar pada penglihatan ruhani. Itulah ilmu para nabi dan wali

Ketahuilah, ilmu yg diperoleh dg wahyu hanya khusus bagi para rasul, seperti diberikan kepada Adam, Musa, Ibrahim, Isa, Muhammad saw dan para rasul lain. Itulah yg menbedakan antara risalah dg nubuwwah .
Adapun nubuwwah adalah perolehan hakikat dari ilmu dan rasionalitas2 oleh suksma yg suci kepada orang2 yg mengambil manfaat. Barangkali perolehan semacam itu didapat salah satu suksma, tetapi ia tidak berkewajiban menyebarkannya karena suatu alasan dan oleh sebab2 tertentu.

Ilmu kasampurnaan menjadi milik seorang nabi dan wali, sebagaimana dimilki Khidir a.s. Hal itu terdapat pd dalil: “Dan yg telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. Al-Kahfi:65).

Ingatlah ketika khalifah Ali berujar: “Kumasukan lisanku kemulutku, hingga terbukalah dihatiku seribu pintu ilmu, yg pada setiap pintu terdapat seribu pintu yg lain”. Dan ia berkata: “Andai kuletakkan bantal dan aku duduk diatasnya, niscaya aku akan mengambil putusan hukum bagi penganut Taurat berdasarkan Taurat mereka, bagi penganut Injil berdasarkan Injil mereka, dan bagi penganut al-Quran berdasarkan al-Quran mereka”.

Derajat seperti ini tidak bisa diterima dg melalui ilmu kemanungsa semata yg hanya dari pembelajaran insani. Pastilah seseorang yg telah mencapai derajat tsb telah dikarunia ilmu kasampurnaan.

Jika Allah menghendaki kebaikan pada dirimu, Dia akan menyingkap tabir atau hijab yg menhalangi dirimu dg suksma yg menjadi papan itu. Dg demikian, sebagian rahasia dari apa2 yg tersembunyi akan ditampakan pdmu. segenap makna yg terkandung didalam rahasia tsb akan terpahat pd suksmamu. Dan suksma itupun mengungkapkan sebagaimana engkau ingin karena dikehendakiNya..

Sejatinya, kearifan bisa lahir dari ilmu kasampurnaan. Selama engkau belum mencapai derajat atau tingkatan ini, engkau tidak akan menjadi seorang arif.
Karena kearifan merupakan pemberian Hyang Widi.
Dalilnya : ” Allah menganugrahkan al-hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar2 telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang2 yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran ” (QS. Al-Baqarah:269).

Hal itu karena orang2 yg berhasil mencapai ilmu kasampurnaan tidak perlu lagi banyak berusaha memahami ilmu secara induktif dan berpayah-payah belajar. Orang yg demikian sedikit belajar, banyak mengajar, sedikit capai, banyak istirahat.

Ketahuilah anakku, setelah wahyu terputus dan sesudah pintu risalah ditutup, umat manusia tidak lagi membutuhkan kehadiran rasul atau utusan. Mereka tidak lagi memerlukan penampakan dakwah setelah penyempurnaan agama. Bukanlah termasuk kearifan menampakan nilai lebih tidak berdasarkan kebutuhan.

Tapi ketahuilah anakku, pintu ilham itu tidak pernah ditutup. Pancaran cahaya suksma sejati tidak pernah terputus. Karena suksma terus membutuhkan arahan, pembaharuan dan peringatan. Umat manusia tidak memerlukan risalah dan dakwah, tetapi masih membutuhkan peringatan sebagai akibat dari tenggelamnya mereka pada rasa was-was dan terhanyut oleh gelombang syahwat.

Karena itu Allah menutup pintu wahyu sebagai pertanda bagi hamba-Nya dan membuka pintu ilham sebagai rahmat serta menyiapkan segala sesuatu menyusun tingkatan2 supaya mereka tahu bahwa Allah Maha Lembut kepada hamba2-Nya, memberikan rezeki kepada siapa saja yg dikendaki tanpa perhitungan. Selesai sudah nasehatku tentang kawruh kesejatian yg kubeberkan padamu. Hendaklah engkau bisa menggunakan sebaik mungkin.

Dengan sikap takzim, Raden Paku ( Sunan Giri ) menerawang ke depan membayangkan wajah ayahandanya mengucapkan sendiri kata2 yg barusan dibacanya. Digengamnya erat2 lembaran lontar itu, lalu didekapkan didada serasa hendak menggoreskan makna dalam hatinya. Suatu makna dari nasehat orang suci yg tak lain adalah ayahandanya sendiri Syeh Wali Lanang / Syeh Awallul Islam ( Maulana Ishak ), lelaki suci keturunan manusia utama.

SEJARAH SANG SAKA MERAH PUTIH

  
Bila kita melihat deretan bendera yang dikibarkan dari berpuluh-puluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya mengandung arti, nilai, dan kepribadian sendiri-sendiri, sesuai dengan riwayat bangsa masing-masing. Demikian pula dengan bendera merah putih bagi Bangsa Indonesia. Warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma–cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan Bangsa Indonesia.
1. Menurut sejarah, Bangsa Indonesia memasuki wilayah Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah Semenanjung dan Philipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti matahari dan Candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, di Samudra Hindia, dan Pasifik.
Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai Bangsa Indonesia.
Pada Zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu getah-getih. Getah-getih yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan getih (dalam Bahasa Jawa/Sunda) berarti darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara.
2. Pada permulaan masehi selama 2 abad, rakyat di Kepulauan Nusantara mempunyai kepandaian membuat ukiran dan pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan gendering besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali gendering ini disebut Nekara Bulan Pajeng yang disimpan dalam pura. Pada nekara tersebut diantaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung. Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.
Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya? Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil benda kuno ada petunjuk bahwa Bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat dalam daftar. Demikian juga Bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum masehi.
Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan adanya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah symbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini.
Pada abad XIX tentara napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya berwarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.
Ada lagi yang dinamakan labarum yang merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai untuk Raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII. Sampai abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera “gunfano” yang dipakai Bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang bernama “fonfano”.
Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti Bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai bendera yang bersulam gambar ular naga.
Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai rupanya pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa Negara di dunia.
3. Pada abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah. Baru pada abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII. Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur , dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu dindingnya terdapat “pataka” di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam kitab jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobuur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal warna merah dan putih.
Prabu Erlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu Burung Garuda yang juga dikenal sebagau burung merah putih. Denikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat Indonesia.
4. Kerajaan Singosari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292 setelah Kerajaan Kediri, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singosari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara sudah menggunakan bendera merah – putih , tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singosari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji – panji berwarna merah putih dan gamelan kearah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan Pasukan Singosari, padahal pasukan Singosari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singosari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto. Berkibarlah warna merah – putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan piagam merah – putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang Runtuhnya Singosari serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Ciwaisme dengan Budhisme.
5. Demikian perkembangan selanjutnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai keraton merah – putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih. Empu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah – putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar – pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah – putih, seperti yang dikendarai oleh Putri raja Lasem. Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah – putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sabagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan. Dalam Keraton Solo terdapat panji – panji peninggalan Kyai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji – panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan arab jawa yang digaris atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa . dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.
6. Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu baling. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang berwarna putih disertai dua umbul – umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudera , di atas tiang armada Bugis yang terkenal. Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebgai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak dikenal dengan kepercayaan monotheisme yang bersifat primitive, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi yaitu hitam sebagai warna dasar sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara – upacara, dan sebagian besar dari moti-motifnya berwarna merah dan putih.
7. Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 di tengah – tengah pasukan Diponegoro yang beribu – ribu juga terlihat kibaran bendera merah – putih, demikian juga di lereng – lereng gunung dan desa – desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah – putih. Ibarat gelombang samudera yang tak kunjung reda perjuangan Rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra – putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanudin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan tidak terpadamkan.
Pada abad XX perjuangan Bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.
Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa dibawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain : Dari Barat Sampai ke Timur, Pulau-pulau Indonesia, Nama Kamu Sangatlah Mashur Dilingkungi Merah-putih. Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.
Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.
Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di Negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah – putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang di tengahnya bergambar banteng.
Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda – Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :
Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA
MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah – putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah – putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah – putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah – putih.
Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak – gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.
Pengibaran Bendera Merah-putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah-putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.
Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.
Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.
Bendera merah-putih mempunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang tertinggi.

SERAT NGULANGREH

Yasa Dalem : Sri Susuhunan Pakubuwana IV
PUPUH I
DHANDHANGGULA
01
Pamedare wasitaning ati, ujumantaka aniru Pujangga, dahat muda ing batine. Nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kalantur, turur kang katula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita.
02
Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira.
03
Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua.
04
Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.
05
Lamun ana wong micara kaki, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang : prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, lan kijase papat iku salah siji, ana-a kang mupakat.
06
Ana uga den antepi, yen ucul saka patang prakara, nora enak legetane, tan wurung tinggal wektu, panganggepe wus angengkoki, aja kudu sembah Hajang, wus salat kateng-sun, banjure mbuwang sarengat, batal haram nora nganggo den rawati, bubrah sakehing tata.
07
Angel temen ing jaman puniki, ingkang pantes kena ginuronan, akeh wong jaya ngelmune, lan arang ingkang manut, yen wong ngelmu ingkang netepi, ing panggawening sarak, den arani luput, nanging ta asesenengan, nora kena den wor kakarepaneki, pancene prijangga.
08
Ingkang lumrah ing mangsa puniki, mapan guru ingkang golek sabat, tuhu kuwalik karepe, kang wus lumrah karuhun, jaman kuna mapan si murid, ingkang pada ngupaya, kudu angguguru, ing mengko iki ta nora, Kyai Guru narutuk ngupaya murid, dadiya kantira.
PUPUH II
K I N A N T H I
01
Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.
02
Dadiya lakuniraku, cegah dhahar lawan guling, lawan ojo sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin.
03
Yen wus tinitah wong agung, ywa sira gumunggung dhiri, aja nyelakaken wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak satemah anenulari.
04
Nadyan asor wijilipun, yen kelakuwane becik, utawa sugih cerita, kang dadi misil, yen pantes raketana, darapon mundhak kang budi.
05
Yen wong anom pan wus tamtu, manut marang kang ngadhepi, yen kang ngadhep akeh durjana, tan wurung bisa anjuti, yen kang ngadhep akeh bongsa, nora wurung dadi maling.
06
Sanadyan nora melu, pasti wruh lakuning maling, kaya mangkono sabarang, panggawe ala puniki, sok weruha gelis bisa, yeku panuntuning iblis.
07
Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki.
08
Yen wong anom-anom iku, kang kanggo ing masa iki, andhap asor dipun bucal, unbag gumunggung ing dhiri, obrol umuk kang den gulang, kumenthus lengus kumaki.
09
Sapa sira sapa ingsun, angalunyat sarta edir, iku lambanging waong ala, nom-noman adoh wong becik, emoh angrungu carita, kang ala miwah kang becik.
10
Cerita kang wus kalaku, panggawe ala lan becik, tindak bener lan becik, tindak bener lan kang salah, kalebu jro caritareki, mulane aran carita, kabeh-kabeh den kawruhi.
11
Mulane wong anom iku, abecik ingkang taberi, jejagongan lan wong tuwa, ingkang sugih kojah ugi, kojah iku warna-warna, ana ala ana becik.
12
Ingkang becik kojahipun, sira anggawa kang remit, ingkang ala singgahana, aja niat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki.
13
Akeh wong kang bisa muwus, nanging den sampar pakolih, amung badane priyangga, kang den pakolihaken ugi, panastene kang den umbar, nora nganggo sawatawis.
14
Aja ana wong bisa tutur, amunga ingsun pribadhi, aja ana amemedha, angrasa pinter ngluwihi, iku setan nunjang-nunjang, tan pantes dipun cedhaki.
15
Singakna den kaya asu, yen wong kang mangkono ugi, dahwen open nora layak, yen sira sadhinga linggih, nora wurung katularan, becik singkiorana kaki.
16
Poma-poma wekasingsun, mring kang maca layang iki, lan den wedi mring wong tuwa, ing lair prapto ing batin, saunine den estokna, ywa nambuh wulang kang becik.
PUPUH III
G A M B U H
01
Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kelantur, tanpa tutur katula-tula katali, kadaluwarsa katutuh kapatuh pan dadi awon.
02
Aja nganti kebanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kebanjur kojur sayekti tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur ingkang sayektos.
03
Pitutur bener iku, sayektine kang iku tiniru, nadyan melu saking wong sudra papeki, lamun becik wurukipun, iku pantes sira anggo.
04
Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang, kidang adigung pinasti, adiguna ula iku, telu pisan mati samyoh.
05
Sikidang umbagipun, angendelaken kebat lumpatipun, pan si gajah angendelken gung ainggil, ula ngendelaken iku, mandine kalamun nyakot.
06
Iku upamanipun, aja ngendelaken sira iku, tukang Nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digung, ing wasana dadi asor.
07
Ambek digang puniku, angungasaken kasuranipun, para tantang candala anyenyampahi, tinemenan boya purun, satemah dadi geguyon.
08
Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngatiati, den kawang-kawang barang laku, den waskitha solahing wong.
09
Dening tetelu iku, si kidang suka ing panitipun, pan si gajah alena patinireki, si ula ing patinipun, ngedelken upase mandos.
10
Tetelu nora patut, yen tiniru mapan dadi luput, titikane wong anom kurang wewadi, bungah akeh wong kang ngunggung, wekasane kajalomprong.
11
Kumprung wong pengung bingung, wekasane lali nora eling, yen den gunggung katone muncu-muncu, wong pengung saya dadi, kaya wudun meh mencothot.
12
Ing wong kang anggunggung, mung sepele iku pamrihipun, mung warege wadhuke klimising lathi, lan telese gondhangipun, rerubo alaning uwong.
13
Amrih wareke iku, yen wus warek gawe nuli gawe umuk, kang wong akeh kang sinuprih padha wedi, amasti tanpa pisungsung, adol sanggap sakehing wong.
14
Yen wong mangkono iku, nora pantes pedhak lan wong agung, nora wurung anuntun panggawe juti, nanging ana pantesipun, wong mangkono didhedhoplok.
15
Aja kakehan sanggup, durung weruh tuture agupruk, tutur nempil panganggepe wruh pribadi, pangrasane keh wong nggunggung, kang wus weruh amelengos.
16
Aja nganggo sireku, kalakuwan kang mangkono iku, nora wurung cinirenen den titeni, mring pawong sanak kang weruh, nora nana kang pitados.
PUPUH IV
P A N G K U R
01
Kang sekar pangkur winarna, lelabuhan kang kanggo ing wong urip, ala lan becik puniku, prayoga kawruhana, adat waton puniku dipun kadulu, miwah ta ing tata krama, den kaesthi siyang ratri.
02
Deduga lawan prayoga, myang watara reringa aywa lali, iku parabot satuhu tan kena tininggala, tangi lungguh angadeg tuwin lumaku angucap meneng myang nendra, duga-duga aja kari.
03
Miwah ta sabarang karya, ing prakara gedhe kalawan cilik, papat iku datan kentun, kanggo sadina-dina, rina wengi neng praja miwah ing dhusun, kabeh kang padha ambekan, papat iku aja lali.
04
Kalamun ana manungsa, tan anganggo ing duga lan prayogi, iku watake tan patut, awor lawan wong kathah, degsura ndaludur tan wruh ing edur, aja sira pedhak-pedhak nora wurung neniwasi.
05
Pan wus watake manungsa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna mininipun, pan dadi panengeran ingkang pinter kang podho miwah kang luhung, kang sugih lan kang melarat, tanapi manungsa singgih
06
Tinitik solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku panengeranipun, winawas ginrotan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujalma, datan amindho gaweni.
07
Ginulang sadina-dina, wewekane ing basa lan basuki, ing jubriya-kibiripun, sumungah lan sesongaran, mung sumendhe sakarsanira Hyang Agung, ujar sirik kang rineksa, kautaman ulah wadi.
08
Ing masa mengko pan nora, kang katemu laku basa basuki, ingkang lumrah wong puniku, dhengki srei lan dora, iren meren pisastene pan kumingsun,sasolahe tan prasaja, jail mutakil basiwit.
09
Alaning liyan den andhar, ing becike liya kang den simpeni, becike dhewe ginunggung,kinarya pasamuan, tan rumasa alane dhewe ngandhukur, wong mangkono wewatekny, nora pantes den pedhaki.
10
Iku wong durbala murka, nora nana mareme jroning ati, sabarang karepanipun, sanadyan wus katekan, arep maneh nora marem saya mbanjur, luwamah lawan amarah, iku kang den tuti wuri.
11
Ing sabarang solah tingkah, ing pangucap tanapi nyang alinggih, tan suka sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan ana kangmadhanana, angrasa luhur pribadi.
12
Aja nedya katempelan, watek ingkang tan becik tinutwuri, watek rusuh nora urus, tunggal lawan manungsa, dipun sami anglabuhi kang apatut, parapan dadi tuladha, tinula mring wong kang becik.
13
Aja lunyu lumur genjah, angrong prasanakan nyumur gumuling, ambubuti arit puniku, watak kang tan raharja, pan wong lunyu nora kena dipun enut, monyar-manyir tan antepan, dela lemeran puniku.
14
Para panginan tegesnya, genjah iku cecegan barang kardi, angrong prasanak liripun, karem ulah miruda, mring rabine sadulur miwah bebatur, tuwin sanak prasanakan, sok senenga dan ramuhi.
15
Nyumur guling punika, ambelawah datan duwe wewadi, nora kene rubung-rubung, wadine kang den urap, mbuntut arit punika pracekanipun, apener neng pangarepan, nggarretel dumunung wuri.
16
Sabarang kang dipun ucap, nora wurung mung plehe pribadi, iku lelabuhan patut, aja nedya anelad, ing wateke kangnem prakoro punika, kang sayogya ngupayoa, anglir mastimbul ing warih.
PUPUH V
MASKUMAMBANG
01
Nadyan silih bapa biyung kaki nini, sadulur myang sanak, kalamun muruk tan becik, nora pantes yen den nuta.
02
Apan koyo mangkono watekanneki, sanadyan wong tuwa yen duwe watak tan becik, miwah ing tindak prayoga.
03
Aja sira niru tindak kang tan becik, sanadyan wong liya, lamun pamuruke becik, miwah ing tindak prayoga.
04
Iku pantes yen sira tiruwa kaki, miwah bapa biyung, amuruk watek kang becik, kaki iku estokena.
05
Wong tan manut tuture wong tuwa ugi, pan nemu duraka, ing donya tumekeng akhir, tan wurung kasurang-surang.
06
Maratani mring anak putu ing wuri, den padha prayitna, aja ana kang kumawani, ing bapa tanapi biyang.
07
Ana uga etang etangane kaki, lelima sinembah, dununge sawiji-wiji, sembah lelima punika.
08
Ingkang dening rama iku kaping kalih, marang maratuwa, lanang wadon kaping katri, lan marang sadulur tuwa.
09
Kaping pat marang guru kang sayekti, sembah kaping lima marang Gustinira yekti, pacincene kawruhana.
10
Pramila rama ibu den bekteni, kinarya jalaran, anane badanireki, kinawruhan padhang hawa.
11
Uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing bating saking Hyang Widdhi, milane wajib sinembah.
12
Pan kinarsakake marang ing Hyang Widdhi, kinarya lantaran, ana ing dunya puniki, nyalaki becik lan ala.
13
Saking ibu rama margane udani, miwahmaratuwa, lanang wadon den bekteni, aweh rasa ingkang nyata.
14
Sajatine rasa kang mencarke wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa.
15
Pan sinembah gegantining rama ugi, pan sirnaning wong tuwa, sadulur tuwa gumanti, inkang pantes sira tuta.
16
Iba warah wuruke ingkang prayogi, sembah kang kaping papat, marang ing guru sayekti, marmane guru sinembah.
17
Kang pituduh marang marganing ngaurip, tumekeng antaka madhangken petenging ati, mbeneraken marga mulya.
18
Wongduraka ing guru abot sayekti, mila den prayitna, minta sih siyang ratri, ywa nganti suda sihira.
19
Kaping lima dununge sembah puniki, mring Gusti kang Murba, ing pati kalawan urip, paring sandhang lawan pangan.
20
Wong neng dunya wajib manuta mring Gusti, lawan para lurah, sapratingkahe den esthi, aja dumeh wis awirya.
21
Nora putra santana wong cilik, pan padha ngawula, pan kabeh namani abdi, yen dosa kukume padha.
22
Yen rumasa putra santana sireki, dadine tyasira angenira sayekti, tan wurung anemu papa.
23
Angungasken putra sentananing Aji, iku kaki aja, wong suwita nora becik, kudu wruh ing karsanira.
24
Yen tinuduh saking Sang Maha Narpati, barang pituduhnya, poma estokna sayekti, karyanira sungkemana.
25
Aja menceng saprintahe sang siniwi, den pethel aseba aywa malincur ing kardi, lan aja ngepluk sungkanan.
26
Luwih ala alane ing wong ngurip, wong ngepluk sungkanan tan patut ngawuleng Gusti, ngengera sepadha-padha.
27
Nadyan ngenger neng biyungira pribadi, yen karya sungkanan nora wurung den srengeni, yen luput pasti pinala.
28
Apa kaya mangkono ngawuleng Gusti, kalamun leleda, tan wurung bilahi, ing wuri aja ngresula.
29
Pan kinarya dhewe bilahinireki, lamun tan temene, barang pakaryane Gusti, lahir batin ywa suminggah.
30
Apa Ratu tan duwe kadang myang siwi, sanak prasanakan, tanapi garwa kekasih, pan mung bener agemira.
31
Kukum adil pan mung iku kang kaesthi, mulata padha den rumeksa Gusti, endi lire wong rumeksa.
32
Dipun gemi nastiti lan ngati-ati, gemi mring kagungan, ing Gusti ywa sira wani, anggegampang lawan aja.
33
Wani-wani nuturken wadining Gusti, den bisa rerawat, ing wewadi sang siniwi, nastiti barang parentah.
34
Ngati-ati ing rina kalawan wengi, ing rumeksanira, lan nyandhang karsaning Gusti, Duduke wuluh kang tampa.
PUPUH VI
DUDUK WULUH
01
Wong ngawula ing Ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep karyanipun setya tuhu marang Gusti, dipun purut sapakon.
02
Apan Ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahaken hukum adil, pramila wajib den emut, sapa tan anut ing Gusti, mring parentahe Sang Katong.
03
Aprasasat batali karsa Hyang Agung, mulane babo wong urip, sapirsa suwiteng Ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh.
04
Ing wurine yen ati durung tuwajuh, angur baya aja ngabdi, angur ngidunga karuhun, aja age-age ngabdi, yen durung eklas ing batos.
05
Ngur ngidungan bae nora ana pakewuh, lan nora nana kang ngiri, mungkul tutug karepipun, nora susah tungguk kemit, sarta seba lurahe nganggo.
06
Nanging iya abote wong ngidung iku, keneng patrol pinggir margi,lamun nora patrol nglurung,
keneng lenga pendhak sasi,katru lurahe sabotol.
07
Lan yen ana tetontonan aneng lurung,kemul bebede sasisih,saha mbanda tanganipun, glindhang-glindhung tanpa keris,andhodhok pinggiring bango.
08
Parandene jroning tyas kaya tumenggung, mengku bawat Senen Kemis, mankono ambeki reku, nora kaya wong ngabdi, wruh plataraning Sang Katong.
09
Lan kelingan sarta ana aranipun, lan ana lungguhe ugi, ing salungguh-lungguhipun, nanging ta dipun pakeling, mulane pinardi katong.
10
Samubarang ing karsaning Sang Prabu, sayekti kudu nglakoni, sapalakartine iku, lamun wong kang padha ngabdi, panggaweyane pan seyos.
11
Kaya iku bopati kliwon panewu, luwin mantri lawan miji, panglaweyan miwah pajang, tuwin kang para prajurit, kang nambut.
12
Kabeh iku kuwajiban sebanipun, ing dino kang amarengi, wiyosanira sang Prabu, sanadyan tan miyos ugi, pasebane aja towong.
13
Yen kang lumrah yen karep seba wong iku, nuli ganjaran den incih, lamun nora yen tan nuli mutung, iku laku sewu sisip, yen wus mangerti ingkang wong.
14
Tan mangkono etunge kang wus sumurup, yen iku nora pinikir, ganjaran pan wus rumuhun mung amamrih sihing Gusti, winales ing lair batos.
15
Setya tuhu barang saprentah manut, ywa nglegani karseng Gusti, wong ngawula paminipun, lir sarah aneng jaladri, darma lumampah sapakon.
16
Dening beja cilaka utawa luhur, asor luhur wus pasti, ana ing bebadanira, aja sok anguring uring, Gusti nira inggih Sang Katong.
17
Mundhak ngakehaken ing luputireku, mring Gusti tuwin Hyang Widdhi, dening ta sabeneripun, temen pasti lawan takdir, mring badan tan kena megoh.
18
Tulisane lokhil makful kang runuhun, pepancene kang wus pasti, tan kena owah sarambut, tulise badanireki ywa ana mundur sapakon.
PUPUH V
DURMA
01
Dipun sami ambanting ing badanira, nyudha dhahar lan guling, darapon sudaa, nepsu kang ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadya sabarang, karyanira lestari.
02
Ing pangrawuh lair batin aja mamang, yen sira wus udani, mring sariranira, lamun ana kang Murba, masesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi.
03
Bener luput ala becik lawan beja, cilaka mapan saking, ing badan priyangga, dudu saking wong liya, mulane den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.
04
Apan ana sesiku telung prakara, nanging gedhe pribadi, puniki lilira, yokang telung prakara, poma ywa nggunggung sireki, sarta lan aja, nacat kepati pati.
05
Lawan aja maoni sabarang karya, sithik-sithik memaoni, samubarang polah, tan kena wong kumlebat, ing masa mengko puniki, apan wus lumrah, uga padha maoni.
06
Mung tindake dhewe datan winaonan, ngrasa bener pribadi, sanadyan benera, yen tindake wong liya, pasti den arani sisip, iku wong ala, ngganggo bener pribadi.
07
Nora nana panggawe kang luwih gampang, kaya wong memamaoni, sira eling-eling, aja sugih waonan,
den sami salajeng budi, ingkang prayoga, sapa-sapa kang lali.
08
Ingkang eling iku padha angilangna, marang sanak kanca kang lali, den nedya raharja, mangkono tindakira,
yen tan nggugu liya uwis, teka menenga, mung aja sok ngrasani.
09
Nemu dosa gawanen sakpadha-padha, dene wong ngalem ugi, yen durung pratela, ing temen becikira,
aja age nggunggung kaki, meneh tan nyata, dadi cirinireki.
10
Dene kang wus kaprah ing masa samangkya, yen ana den senengi, ing pangalemira, pan kongsi pandirangan,
matane kongsi malirik, nadyan alaa, ginunggung becik ugi.
11
Aja gelem aja mada nora bisa, yen uga masa mangkin iya ing sabarang, yen nora sinenengan, den poyok kapati pati, nora prasaja, sabarang kang den pikir.
12
Ngandhut rukun becike ngarep kewala, ing wuri angarsani, ingkang ora-ora, kabeh kang rinasanan, ala becik den rasani, tan parah-parah, wirangronge gumanti.
PUPUH VI
WIRANGRONG
01
Den samya marsudeng budi, wuweka dipun was paos, aja dumeh bisa muwus, yen tan pantes ugi, sanadya mung sekecap, yen tan pantes prenahira.
02
Kudu golek masa ugi, panggonan lamun miraos, lawan aja age sira muwus, durunge den kaesthi, aja age kawedal, yen durung pantes lan rowang.
03
Rowang sapocapan ugi, kang pantes ngajak calathon, aja sok metuwo wong celathu, ana pantes ugi, rinungu mring wong kathah, ana satengah micara.
04
Lan welinge wong ngaurip, aja ngakehken supaos, iku gawe reged badanipun, nanging masa mangkin, tan ana itungan prakara, supata ginawe dinan.
05
Den padha gemi ing lathi, aja ngakehke pepisoh, cacah cucah erengan ngabul-abul, lamun tan lukani, den dumeling dosanya, mring abdi kang manggih duka.
06
Lawan padha den pakeling, teguhna lahir batos, aja ngalap randhaning sedulur, sanak miwah abdi, karsa rewang sapasang, miwah maring pasanakan.
07
Gawe salah graitaning, ing liyan kang sami anom, nadyan lilaa lanangipunkang angrungu elik, ing batin tan pitaya, masa kuranga wanodya.
08
Gawe salah graitaning, ing liyan tan sami anom, nadyan lilaa lananganipun, kang ngrungu elik, ing batin tan pitaya, masa kuranga wanodya.
09
Tan wurung dipun cireni, ing batin ingaran rusoh, akeh jaga-jaga jroning kalbu, arang ngandel batin, ing tyase padhasuda, pangandele mring bendara.
10
Anu cacat agung malih, anglangkungi saking awon, apan sakwan iku akeh pun, dhingin wong madati, pindho wong ngabotohan, kaping tiga wong durjana.
11
Kaping sakawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung batine den etang, alumuh lamun kalonga.
12
Iya upamane ugi, duwe dhuwit pitung bagor, mapan nora marem ing tyasipun, ilanga sadawa, gegetun patang warsa, padha lan ilang saleksa.
13
Wong ati sudagar ugi, sabarang prakara tamboh, amung yen ana wong teka iku, anggegawe ugi, gegadhen pan tumanggal, ulate teka sumringah.
14
Dene wong durjana ugi, nora ana den batos, rina wengi mung kang den etung, duweke liyan nenggih, dahat datan prayoga, lamun wateke durjana.
15
Dene bebotoh puniki, sabarang pakaryan lumoh, lawan kathah linyok para padha, yen pawitan enting
tan wurung anggegampang, ya marang darbeking sanak.
16
Nadyan wasiyating kaki, nora wurung dipun edol, lamun menang endang gawe angkuh, pan kaya bopati, wewah tan ngarah-arah, punika awoning bangsat.
17
Kepatuh pisan memaling, tiniteran saya awon, apan boten wonten panedinipun, pramilane sami, sadaya nyinggahana, anggegulang ngabotohan.
18
Dene ta wong akng madati, sesade kemawon lumuh, amung ingkang dados senengipun, ngadep diyan sarwi, linggih ngamben jejegang, sarwi leleyang bebuden.
19
Yen leren nyeret, netrane pan merem karo, yen wus ndadi awake akuru, cahya biru putih, njalebut biru toya, lambe biru untu petah.
20
Beteke satron lan gambir, jambe suruh arang wanuh, ambekane sarwi melar mingkus, atuke anggigil, jalagra aneng dhadha, tan wurung ngestop boliro.
21
Yen mati nganggo ndalinding, suprandene npra kapok, iku padha singgahana patut, ja ana nglakoni, wong mangan apyun ala, urpe dadi tontonan.
22
Iku kabeh nora becik, aja na wani anganggo, panggawe patang prakara iku, den padha pakeling, aja na wani nerak, kang wani nerak tan manggih arja.
23
Lawan ana waler malih, aja sok anggung kawuron, nginum, sajeng tanpa masa iku, dadi lire ugi, angombe saben dina, pan iku watake ala.
24
Lan aja karem sireki, ing wanodya ingkang awon, lan aja mbuka wadi siraku, ngarsaning pawestri tan wurung nuli corah, pan wus lumprahing wanita.
25
Tan bisa simpen wewadi, saking rupake ing batos, pan wus pinanci dening Hyang agung, nitahken pawestri, apan iku kinarya, ganjaran marang wong priya.
26
Kabeh den padha nastiti, marang pitutur kang yektos, aja dumeh tutur tanpa dapur, yen bakale becik, den anggo weh manfaat, kaya Pucung lan kaluwak.
PUPUH VII
P U C U N G
01
Dipun sami marsudi ing budinipun, weweka den awas, aja dumeh bisa angling, den apantes masa kalane micara.
02
Nadyan namung sakecap yen nora patut, prenah ing wicara, sadurunge den kaesthi, awasane semune rewang alenggah.
03
Lawan aja sok metua wong celathu, aneng pasamuwan, ora pantes kang kawiji, ora ana kang kasimpen ing wardaya.
04
Wicara kang kawetu aja kabanjur, nganggowa prayoga, arahen kang ngati-ati, yen wus melu nora kena tinututan.
05
Milanipun den prayitna wong celathu, aja sok supata, pan dadi regeding urip, yen micara larangana ngucap tobat.
06
Iku dadi cilakane ing uripmu, poma-poma padha, den gemi wedaling lati, masa mangke supata ginawa dinan.
07
Akeh tiru pangucap saru rinungu, anut ukaning tyas, tan ana kang angukumi, ukuming Hyang kinurangan sandhang pangan.
08
Lawan aja terocoh sugih pepisuh, ngucap cacah cucah, anyenengi batur sisip, yen duduka den dumeling sisipira.
09
Iku padha den teguhana den kukuh, lawan aja sira, angalap randhaning abdi, miwah sanak kanca satunggal sapangan.
10
Gawe salah graita kang padha ngrungu, sanadyan lilaa, iya kang anduwe rabi, sanakira ilang pitayaning mana.
11
Nora wurung sinebut kalamun rusuh, batur ira padha, suda pangandeling batin, mring bandara masa kuranga parawan.
12
Lawan aja cacad ingkang luwih agung, pan patang prakara, ingkang dingin wong madati, pindho botoh ping telune wong durjana.
13
Kaping pate wong budi saudagar tambah, sabarang prakara, mung mungkul suka lan sugih, rina wengi mung bathine kang den etang.
14
Lumuh kalong tur wus nyekel reyal satus, kalonge sareyal, gegetune sangang sasi, durung marem yen durung simpen saleksan.
15
Mung sukane yen ana dhedhayoh muncul, nggawa gandhen emas, anenembung utang dhuwit, sumarangal ulate teka sumringah.
16
Wong durjana kang kaesthi siang dalu, mung wong sugih arta, kang den incih den malingi, luwih ala-alane budi durjana.
17
Botoh iku sabarang panggawe lumuh, para padu dura, lamun pawitane enting,ora wurung nggegampang duweking sanak.
18
Nora etung wasiyate kaki buyut, tan nganggo den eman, barang wesi tumbak keris, nora wurung ingedol wataking bangsat.
19
Lamun menang angkuhe kaya wong agung, belaba aloma, tan anganggo ngeman picis, nora nganggo kira-kira weweh sanak.
20
Dene lamun kabutuh tanwurung nguthuh, mring tetangganira, yen kalimpe denmalingi, mula aja karem nggegulang botohan.
21
Dene yen wong madati keset tur angkuh, barang gawe sungkan, kang dadim kareming ati, ngadhep diyan alungguh sambi jejegang.
22
sarta nyekel bedutane den elus-elus, angedhep pangeran, leren nyered banjur dhidis, suwe-suwe matane rem-erem ayam.
23
Lamun ana rewange wong nyeret iku, ingkang karujukan, crita cinrita pra gaib, para rasa sastrane ingkang rinasa.
24
Sira ingkang tyas supaya akeh wong ngrungu, andangi sabarang, nora nganggo wigah-wigih, nadyan kalah diakali pasti menang.
25
Suprihipun anaa wong aweh candu, sing wong kekurangan, pikir peteng susah ati, suka bungah adhangan akale ndara.
26
Yen wus ndadi nyerete awake kuru, mesem ulatira, njambut wadi saking warih, lambe biru untu putih arang nginang.
27
Tenmenipun satronjambe gambir suruh, injet lan mbakonya, kinira yen wedi getih, tan angandel puniku mewani cahya.
28
Nyeret lawas ambekane melar mingkus, jelagra neng dadha, watuke saya gumugil, yen agering ndalinding metu bolira.
29
Iya iku alane wong mangan apyun, uripira dadya, tontonan padhaning jalmi, singgahana wewaler telung prakara.
30
Ana maning wewaler aja sok wuru, nora nganggo masa, endi lirira puniki, nginum sajeg puniku watake ala.
31
Yen amendem ilang prayitnaning kalbu, tan ajeg pikirnya, sabarang angrasa wani, tinemenan wekasane dadi ala.
32
Lawan aja karem mring wanita ayu, kang ala anggepnya, lan aja mbukak wewadi, mring ngarsaning wanita tan wurung corah.
33
Sampun lumrah ing wanita datan brukut, asimpen raharja, saking rupake ing batin, apan uwus pinanci dening Hyang Suksma.
34
Nitahaken pawestri pan kinaryeku, ganjaraning priya, kabeh padha den nastiti, mring pitutur sayekti kudu prayitna.
35
Aja dumeh pitutur kang tanpa dapur, yen becik bakalnya, den anggowa manfaati, aja kaya Pucung kalawan kaluwak.
Ing ngandhap punika inkang aslinipun sampun kasekaraken Pucung 22 pada sekar.
PUPUH VIII
P U C U N G
01
Kamulane kaluwak nonomanipun, Pan dadi satunggal, pucung aranira ugi, yen wus tuwa kaluwake pisah pisah.
02
Den budiya kepriye ing becikipun, aja nganti pisah, kumpule kaya nomeki, anom kumpul tuwa kumpul kang prayoga.
03
Aja kaya kaluwak duk anom, kumpul bisa wus atuwa, ting salebar siji-siji, nora wurung dadi bumbu pindhang lulang.
04
Aja kaya sadulur memanise dipun runtut, oja kongsi pisah, ing samubarang karyeki, yen arukun dinulu katon prayoga.
05
Abot enteng wong duwe sanak sadulur, ji tus tandhingira, yen golong sabarang pikir, kacek uga kang tan duwe sanak kadang.
06
Luwih abot wong duwe sanak sadulur, enthenge yen pisah, pikire tan dadi siji, abotipun yen sabiyantu ing karsa.
07
Lamun bener apinter pamomonganipun, kang ginawa tuwa, aja nganggo abot sisih, dipun sabar pamengku ing sentana.
08
Pan ewuh wong tinitah dadi asepuh, tan kena ginampang, mring sadulurira ugi, tuwa nenom aja beda traping karya.
09
Kang saregep kalawan ingkang malincur, iku kawruh ana, sira alema kang becik, ingkang malincur den age bendanana.
10
Datan mari bebendon nggone malincur, age patrapana, sapantese dosaneki, mring santara darapon dadi tuladha.
11
Nadyan iya wong cilik pasti piturut, kang padha ngawula, dimen padha wedi asih, pan mangkono lakune wong dadi tuwa.
12
Den ajembar anggonira amangku, den pindho sageta, tyase amot ala becik, mapan ana pepancene sowang-sowang.
13
Pan sadulur tuwa wajibe pitutur, mring kadang taruna, kang anom wajibe wedi, dipun manut tuture sadulur tuwa.
14
Kang tinitah dadi anom aja masgul, ing batin ngrasaa, saking karsaning Hyang Widdhi, yen masgula ngowai kodrating Suksma.
15
Nadyan bener yen wong anom dadi luput, dene ingkang tuwa, den kayu banyu ing beji, awening tingale aja sumunar.
16
Lan maninge pan ana pituturingsun, yen sira amaca, sabarang layang den eling, aja pijer ketungkul ngelingi sastra.
17
Caritane ala becik dipun enut, nuli rasa kena, carita kang muni tulis, den karasa kang becik si ra a- nggawa.
18
Ingkang ala rasakena dadi luput, supaya tyasira, weruh ing ala lan becik, ingkang becik wiwitane kawruhana.
19
Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono ugi
ing wekasanipun teka dadi ala.
20
Ing sabarang prakaran dipun kadulu, wiwit wekasanya, bener luput den atiti, ana becik wekasane dadi ala.
21
Dipun weruh iya ing kawulanipun, lan wekasanira, puniku poma den ana, ala dadi becik ing wekasanira.
22
Ewuh temen babo wong urip puniku, apan nora kena, kinira-kira ing budi, arang mantep wasise basa raharja.
PUPUH IX
MIJIL
01
Pomo kaki padha dipun eling, ing pitutur ingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, luruh sarta wasis, samubarang tanduk.
02
Dipun nedya prawira ing batin, nanging aja katon, sasona yen durung masane, kekendelan aja wani manikis, wiweka ing batin, den samar ing semu.
03
Lan dimantep mring panggawe becik, lawan wekas ingong, aja kurang iya panrimane, yen wis tinitah marang Hyang Widhi, ing badan punika, wus pepancenipun.
04
Ana wong narima ya titahing, mapan dadi awon, lan ana wong narima titahe, wekasane iku dadi, becik, kawruhana ugi, aja seling surup.
05
Yen wong bodho datan nedya ugi, atakon tetiron, anarima titah ing bodhone, iku wong narima nora becik
dene ingkang becik, wong narima iku.
06
Kaya upamane wong angabdi, marang sing Sang Katong, lawas-lawas ketekan sedyane, dadi mantri utawa bupati, miwah saliyaneng, ing tyas kang panuju.
07
Nuli narima tyasing batin, tan mengeng ing Katong, rumasa ing kani matane, sihing gusti tumeking nak rabi, wong narima becik kang mangkono iku.
08
Nanging arang iya wong saiki, kang kaya mangkono, Kang wus kaprah iyo salawase, yen wis ana lungguhe sathithik, apan nuli lali, ing wiwitanipun.
09
Pangrasane duweke pribadi, sabarang kang kanggo, datan eling ing mula mulane, witing sugih sangkane amukti, panrimaning ati, kaya anggone nemu.
10
Tan ngrasa kamurahaning Widdhi, jalaran Sang Katong, jaman mengko ya iku mulane, arane turun wong tuwa tekweng, kardi tyase Sariah, kasusu ing angkuh.
11
Arang nedya males sihing Gusti, Gustine Sang Katong, lan iya ing kabehing batine, sanadyan narima ing Hyang Widdhi, iku wong tan wruh ing, kanikmatanipun.
12
Wong tan narima pan dadi becik, tinitah Hyang Manon, iku iyo rerupane, kaya wong ingkang ngupaya ilmi, lan wong nedya ugi kapintaranipun.
13
Iya pangawruh kang den senengi, kang wus sengsem batos, miwang ingkang kapinteran dene, ing samubarang karya ta uwis, nora kanggo lathi, kabeh wus kawengku.
14
Uwis pinter nanging iku maksih, nggonira pitados, ing kapinterane ing undhake, utawa unggahe kawruh yekti, durung marem batin, lamun durung tutug.
15
Yen wong kurang panrimo ugi, iku luwih awon barang gawe aja age-age, anganggowa sabar sarta ririh, dadi barang kardi resik tur rahayu.
16
Lan maninge babo dipun eling, ing pituturingong, sira uga padha ngemplak emplak, iya marang kang jumeneng Aji, ing lair myang batin, den ngarsa kawengku.
17
Kang jumeneng iku ambawani, karsaning Hyang Manon, wajib padha wedi lan batine, aja mamang parintah ing Aji, nadyan enom ugi, lamun dadi Ratu.
18
Nora kena iya den waoni, parentahing Katong, dhasar Ratu abener prentahe, kaya priye nggonira sumingkir, yen tan anglakoni, pasti tan rahayu.
19
Nanging kaprah ing masa samangkin, anggepe angrengkoh, tan rumangsa lamun ngempek empek, ing batine datan nedya eling,kamuktene iki,ngendi sangkanipun.
20
Lamun eling jalarane mukti, pasthine tan mengkuh, saking durung batin ngrasakake, ing pitutur engkang dingin-dingin, dhasar tan paduli, wuruking wong sepuh.
21
Dadine sabarang tindakneki, arang ingkang tanggon,saking durung ana landhesane, arip crita tan ana kang eling, elinge pribadi, dadi tanpa dhapur.
22
Mulanipun wekasingsun iki, den kerep tetakon, aja isin ngatokken bodhone, saking bodho witing pinter ugi, mung Nabi sinelir, pinter tanpa wuruk.
23
Sabakdane tan ana kadyeki, pinter tanpa takon, apan lumrah ing wong urip kiye, mulane wong anom den taberi, angupaya ilmu pandadi pikukuh.
24
Kacek uga wong kang tanpa ilmu,sabarange kaot, dene ilmu iku ingkang kangge, sadinane gegulangan dingin, pan sarengat ugi, parabot kang perlu.
25
Ilmu sarengat pan iku dadi, wadhah kang sayektos,kawruh tetel wus kawengku kabeh, kang sarengat kanggo lair batin,mulane den sami, brangta maring ilmu.
PUPUH X
ASMARANDANA
01
Padha netepana ugi, kabeh parentahing syara, terusna lair batine,salat limang wektu uga,tan kena tininggala, sapa tinggal dadi gabug, yen misih remen neng praja.
02
Wiwitane badan iki, iya saking ing sarengat, anane Manusa kiya, rukune Islam lelima, tan kerja tininggala, pan iku parabot agung, mungguh uripe neng donya.
03
Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apantosa kuwasane, ning aja tan linakwan, sapa tan ngalakanana, datan wurung nemu bebendu, mula padha estokeno.
04
Parentahira Hyang Widdhi, kang dhawuh marang Nabiu’ullah, ing Dalil Khadis enggone, aja padha sembrana, rasakna den karasa, Dalil Khadis rasanipun, dimene padhang tyasira.
05
Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira, uripe padha lan kebo, angur kebo dagingira, khalal lamun pinangan, yen manungsa dagingipun, pinangan pastine kharam.
06
Poma-poma wekas mami, anak putu aja lena, aja katungkul uripe, lan aja duwe kareman, banget paes neng dunya, siang dalu dipun emut, wong urip manggih antaka.
07
Lawan aja angkuh bengis, lengus lanas calak lancang, langar ladak sumalonong, aja ngidak aja ngepak,
lan aja siya-siya, aja jahil dhemen padu, lan aja para wadulan.
08
Kang kanggo ing masa iku, priyayi nom kang den gulang, kaya kang wus muni kowe, kudu lumaku kajinan, pan nora nganggo murwat, lunga mlaku kudhung sarung, lumaku den dhodhokana.
09
Datanpa kasur Sayekti, satriya tan wruh ing tata, ngunggulaken satriyane, lamun karem pinondhokan, anganggowo jajaran, yen niyat lung anawur, aja ndhodhoken manusa.
10
Denene wedi sarta sih, anggonira mengku bala, miwah yen angran ing gawe, den abisa minta-minta, karyane prawadyanira, ing sagawe gawenipun, ing karyanira prayoga.
11
Sarta kawruhana batin, gegantunganing pratopan, darapon pethel karyane, dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya ywa, dumeh isih sireku, lamun leda patrapana.
12
Nadyan sanak antaneki, yen leda hya pinatrapan, murwaten lawan dosane, darapon padha wediya, ing wuri awya padha, angladeni kayaniraku, aja pegat den warata.
13
Lan meninge suta mami, mungguh anggering kawula, den suka sukur ing batos, aja pegat ing panedha,
maring Kyang kang misesa ing, rahina wenginipun, mulyaning Nagara kita.
14
Iku uga dipun eling, kalamun mulyaning praja, mufa’ati mring wong akeh, ing rina wengi tan pegat, nenedha mring Pangeran, luluse kraton Sang Prabu, miwah arjaning negara.
15
Iku wewalesing batin, mungguh wong suwiteng Nata, ing lair setya tuhu, kalawan nyadhang ing karsa,
badan datan nglenggana, ing siyang dalu pan katur, atur pati uripira.
16
Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya setiya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna bathinipun, ing tyas datan pangrasa.
17
Awite dadi priyayi, sapa kang gawe ing sira, tan weling ing wiwitane, amung weruh ing witira, dadine saking ruba, mulane ing batinipun, pangetunge lir wong dagang.
18
Mung mikir gelise mulih, rerubanira duk dadya, ing rina wengi ciptane, kepriye lamun bisaa, males sihing bandara, lungguhe lawan tinuku, tan wurung angrusak desa.
19
Pamrihe gelise bathi, nadyan besuk pinocota, picisku sok wusa mulih, kepriye lamun tataa, polahe salang tunjang, padha kaya wong bebruwun, tan ngetung duga prayoga.
20
Poma padha dipun eling, nganggo syukur lawan lila, nrimaa ing pepancene, lan aja amrih sarama, mring sedya nandhang karya, lan padha amriha iku, harjane kang desa-desa.
21
Wong desa pan aja ngesthi, anggone anambut karya, sesawah miwah tegale, nggaru maluku tetapa, aja den owah dimene, tulus nenandur jagung, pari kapas lawan jarak.
22
Yen desa akeh wongneki, ingkang bathi pasthisira, wetune pajeg undhake, dipun reh pamrihira, aja kongsi rekasa, kang wani kalah rumuhun, kurang pajeg srantekena.
23
Lamun tan mangkono ugi, karem masesa wong desa, salin bakul pendhak gawe, pamitunge jung sacacah, bektine karo belah, temahan desane suwung, pyayine jaga pocetan.
24
Poma aja anglakoni, kaya pikir kang mangkono, satemah lingsem dadine, den sami angestakena, mring pitutur kang arja, nora cacad alanipun, wong nglakoni kebecikan.
25
Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembrana, ewuh yen nuruta, malah mudhar pitutur,pangrasane pan wus wignya.
26
Aja na mangkono ugi, yen ana wong kang carita, rungokena saunine, ingkang becik sireng gawa,bawungen ingkang ala, anggiten sajroning kalbu, ywa nganggo budi nonoman.
PUPUH XI
SINOM
01
Ambeke kang wus utama, tan ngendhak gunaning jalmi, amiguna ing aguna, sasolahe kudu bathi, pintere den alingi, bodhone didokok ngayun, pamrihe den inaa, mring padha padhaning jalmi, suka bungah den ina sapadha-padha.
02
Ingsun uga tan mangkana, baliku kang sun alingi, kabisan sun dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune angluwihi, nanging tenanipun cubluk, suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tanpa ngrasa prandene sugih carita.
03
Tur ta duk masihe bocah, akeh temen kang nuruti, lakune wong kuna-kuna, lelabetan kang abecik, miwah carita ugi, kang kajaba saking embuk, iku kang aran kojah, suprandene ingsun iki, teko nora nana undaking kabisan.
04
Carita nggonsun nenular, wong tuwa kang momong dingin, akeh kang padha cerita, sun rungokna rina wengi, samengko isih eling, sawise diwasa ingsun, bapa kang paring wulang, miwah ibu mituturi, tatakrama ing pratingkah karaharjan.
05
Nanging padha estokana, pitutur kang muni tu’ia, yen sira nedya raharja, anggone pitutur iki, nggoningsun ngeling-eling, pitutur wong sepuh-sepuh, mugi padha bisa, anganggo pitutur iki, ambrekati wuruke wong tuwa-tuwa.
06
Lan aja nalimpang padha, mring leluhur dhingin dhingin, satindake den kawruhan, ngurangi dhahar lan guling, nggone ambanting dhiri, amasuh sariranipun, temene kang sinedya, mungguh wong nedheng Hyang Widdhi, lamun temen lawas enggale tinekan.
07
Hyang sukma pan sipat murah, njurungi kajating dasih, ingkang temen tinemenan, pan iku ujare Dalil,
nyatane ana ugi, nenggih Ki Ageng Tarub, wiwitira nenedha, tan pedhot tumekeng siwi, wayah buyut canggah warenge kang tampa.
08
Panembahan senopatya, kang jumeneng ing Matawis, iku barang masa dhawuh, inggih ingkang Hyang Widdhi, saturune lestari, saking berkahing leluhur, mrih tulusing nugraha, ingkang keri keri iki, wajib uga niruwa lelakonira.
09
Mring leluhur kina-kina, nggonira amati dhiri, iyasa kuwatanira, sakuwatira nglakoni, cegah turu sathithik, lan nyudaa dhaharipun, paribara bisaa, kaya ingkang dingin dingin, aniruwa sapretelon saprapatan.
10
Pan ana silih bebasan, padha sinauwa ugi, lara sajroning kapenak, lan suka sajroning prihatin, lawan ingkang prihatin, mana suka ing jronipun, iku den sinauwa, lan mati sajroning urip, ingkang kuna pan mangkono kang den gulang.
11
Pamore gusti kawula, punika ingkang sayekti, dadine socaludira, iku den waspada ugi, gampange ta kaki,
tembaga lan emas iku, linebur ing dahana, luluh awor dadi siji, mari nama tembaga tuwin kencana.
12
Yen aranana kencana, dene wus awor tembagi, yen aranana tembaga, wus kaworan kancanedi, milanya den westani, aran suwasa punika, pamore mas tembaga, mulane namane salin, lan rupane sayekti yen warna beda.
13
Cahya abang tuntung jenar, puniku suwasa murni, kalamun gawe suwasa, tembaga kang nora becik, pambesate tan resik, utawa nom emasipun, iku dipunpandhinga, sorote pasthi tan sami, pan suwasa bubul arane punika.
14
Yen sira karya suwasana, darapon dadine becik, amilihana tembaga, oliha tembaga prusi, biresora kang resik, sarta masira kang sepuh, resik tan kawoworan, dhasar sari pasti dadi, iku kena ingaranan suwasa mulya.
15
Puniku mapan upama, tepane badan puniki, lamun karsa ngawruhana, pamore kawula Gusti, sayekti kudu resik, aja katempelan napsu, luwamah lan amarah, sarta suci lahir batin, pedimene apan sarira tunggal.
16
Lamun mangkonoa, sayektine nora dadi, mungguh ilmu kang sanyata, nora kena den sasabi, ewoh gampang sayekti, punika wong darbe kawruh, gampang yen winicara, angel yen durung marengi, ing wetune binuka jroning wardaya.
17
Nanging ta sabarang karya, kang kinira dadi becik, pantes yen tinalatenan, lawas-lawas bok pinanggih, den mantep ing jro ngati, ngimanken tuduhing guru, aja uga bosenan, kalamun arsa udani, apan ana dalile kang wus kalawan.
18
Marang leluhur sedaya, nggone nenedhamring Widhi, bisaa ambabonana, dadi ugere rat Jawi, saking telateneki, nggone katiban wahyu, ing mula mulanira, lakune leluhur dingin, andhap asor anggone anamur lampah.
19
Tampane nganggo alingan, pan padha alaku tapi, iku kang kinaryo sasap, pamriha aja katawis, jub rina lawan kabir, sumungah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton Jawi, tinampelan anggape pan kumawula.
20
Punika laku utama, tumindak sarto kekaler, nora ngatingalke lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, pan jero pangarahipun, asore ngemurasa, prayoga tiniru ugi, anak putu aja ana ninggal lanjaran.
21
Lan maning ana wasiyat, prasapa kang dingin dingin, wajib padha kawruhana, anak putu ingkang kari, lan aja na kang wani, nerak wewaleripun, marang leluhur padha, kang minulyakaken ing Widdhi, muga-muga mufaatana ing darah.
22
Wiwitan ingkang prasapa, Ki Ageng Tarup memaling, ing satedhak turunira, tan linilan nganggo keris, miwah waos tan keni, kang awak waja puniku, lembu tan kena dhahar, daginge pan nora keni, anginguwa marang wong wadon tan kena.
23
Dene Ki ageng Sela, prasape ingkang tan keni, ing satedhak turunira, nyamping cindhe den waleri, kapindhone tan keni,ing ngarepan nandur waluh, wohe tan kena dhahar, Panembahan Senopati, ingalaga punika ingkang prasapa.
24
Ingkang tedhak turunira, mapan nora den lilani, anitiha kuda napas, lan malih dipun waleri, yen nungganga turangga, kang kakoncen surinipun, dhahar ngungkurken lawang, wuri tan ana nunggoni,
dipun emut punika mesthitan kena.
25
Jeng Sultan Agung Mataram, apan nora anglilani, mring tedhake yen nitiha, kapal bendana yen jurit,
nganggo waos tan keni, lamun linandheyan wregu, datan ingaken darah, yen tan bisa nembang kawi,
pan prayoga satedake sinauwa.
26
Jeng Sunan Pakubuwana, kang jumeneng ing Samawis, kondur madek ing Kartasura, prasapanira anenggih, tan linilan anitih, dipangga saturunipun, Sunan Prabu Mangkurat, waler mring saturunreki,
tan rinilan ujung astana ing Betah.
27
Lawan tan kena nganggowa, dhuwung sarungan tan mawi, kandelan yen nitih kuda, kabeh aja na kang lali, lawan aja nggogampil, puniku prasapanipun, nenggih Kang jeng Susunan, Pakubuwana ping kalih,
mring satedhak turunira linarangan.
28
Dhahar apyun nora kena, sinerat tan den lilani, nadyan nguntal linarangan, sapa kang padha nglakoni,
narajang waler iki, pan kongsi kalebon apyun, pasti keneng prasapa, linabakken tedhakneki, Kanjeng Sunan ingkang sumare Nglawiyan.
29
Prasapa Kangjeng Susunan, Pakubuwana kaping tri, mring satedhak turunira, apan nora den lelani,
ngawe andel ugi, wong seje ing jinipun, apan iku linarangan, anak putu wuri-wuri, poma aja wani anrajang prasapa.
30
Wonten waler kaliwatan, saking luhur dingin dingin, linarangan angumbaha, wana Krendhawahaneki, dene kang amaleri, Sang Danan Jaya rumuhun, lan malih winaleran, kabeh tedhak ing Matawis, yen dolana mring wana tan kena.
31
Dene sesirikanira, yen tedhak ing Demak nenggih, mangangge wulung tan kena, ana kang nyenyirik malih, bebet lonthang tan keni, yeku yen tedhak Madiyun, lan paying dadaan abang, tedhak Madura tan keni, yen nganggowa bebathikan parang rusak.
32
Yen tedhak Kudus tak kena, yen dhahara daging sapi, yen tedhak Sumenep iku, nora kena ajang piring, watu tan den lilani, lawan kidang ulamipun, tan kena yen dhahara, miwah lamun dhahar ugi, nora kena ajang godhong pelasa.
33
Kabeh anak putu padha, eling-elingan ywa lali, prasapa kang kuna-kuna,wewaler leluhur nguni, estokna away lali, aja nganti nemu dudu, kalamun wani nerak, pasti tan manggih basuki, Sinom salin Girisa ingkang atampa.
PUPUH XII
GIRISA
01
Anak putu den estokna, warah wuruke pun bapa, aja na ingkang sembrana, marang wuruke wong tuwa,ing lair batin den bisa, anganggo wuruking bapa, ing tyas den padha santosa, teguhana jroning nala.
02
Aja na kurang panrima, ing pepasthening sarira, yen saking Hyang Moha Mulya, kang nitahken badanira,
lawan dipunawas padha, asor unggul waras lara, utawa beja cilaka, urip utawa antaka.
03
Pan iku saking Hyang Suksma, miwah ta ing umurira ingkang cedhak,lan kang dawa, wus pinasthi ing Hyang Suksma, duraka yen maidowa, miwah yen kurang panrima, ing lokhilmahfut punika tulisane pan wus ana.
04
Iku padha kawruhana, sesikune badanira, aywa marang kang amurba, Kang Misesa, marang sira, yen sira durung uninga, prayoga atatakona, mring kang padha wruh ing ma’na, iku kang para ulama.
05
Kang wus wruh rahsaning kitab, darapon sira weruha, wajib moka ing Hyang Suksma, wiwah wajibing kawula, lan mokale kawruhana, miwah ta ing tatakrama, sarengat dipunwaspada, batal kharam takokeno.



06
Sunat lan perlu punika, perabot kanggo sadina, kaki iki dipunpadhang, tatakaniro den terang,lan aja bosen jagongan, marang kang para ‘ulama, miwah wong kang wus sempurna,pangawruhe mring Hyang Suksma.
07
Miwah ta nagara krama, tindak tanduk myang bebasan, kang tumiba marang nistha, tuwin kang tiba ing madya, lawan kang timbang utama, iku sira takokena, ya marang para sujana, miwah wong kang tuwa-tuwa.
08
Kang padha bisa micara, tuwin kang ulah susastra, iku pantes takanana, bisa madhangken tyasira, karana ujaring sastra utawa saking carita, ingkang kinarya gondhelan, amemuruk mring wong mudha.
09
Lawan sok kerepa maca, sabarang layang carita, aja nampik barang layang, carita kang kuna-kuna, layang babat kawruhana, caritane luhuriro, darapon sira weruha, lelakone wong prawira.
10
Miwah lelakone padha, kang para Wali sadaya, kang padha antuk nugraha, angsale saking punapa, miwah kang satriya, kang digdyana ing ayuda, lakune sira tiruwa,lelabetan kang utama.
11
Nora susah amirungga, mungguh lakuning satriya, carita kabeh pan ana, kang nistha lan kang utama, kang asor kang padha, miwah lakuning nagara, pan kabeh ana carita, ala becik sira wruha.
12
Yen durung mangerti sira, caritane takonana, ya marang wong tuwa-tuwa, kang padha wruh ing carita, iku ingkang dadi uga, mundhak kapinteranira, nanging ta dipun elingan, sabarang ingkang kapiyarsa.
13
Aja na tiru ing bapa, banget tuna bodho mudha, kethul tan duwe graita, ketungkul mangan anendra, nanging anak putu padha, mugi Allah ambukaa, mring pitutur kang prayoga, kabe padha anyakepa.
14
Umure padha dawaa, padha atut aruntuta, marang sadulure padha, den padha sugih berana, tanapi sugiha putra, pepaka jalu wanodya, kalawan maninge aja, nganti kapedhotan tresna.
15
Padha sami den pracaya, aja sumelang ing nala, kabeh pitutur punika, mapan wahyuning Hyang Suksma, dhawuh mring sira sadaya, jalarane saking bapa, Hyang suksma paring nugraha, marang anak ingsun padha.
16
Den bisa nampani padha, mungguh Sasmitaning suksma, ingkang dhawuh marang sira, wineruhken becik ala, anyegah karepanira, marang panggawe kang ala, kang tumiba siya-siya, iku peparing Hyang Suksma.
17
Paring peling maring sira, tinuduhken ing dedalan, kang bener kang kanggo uga, ing dunya ingkang sampurna, mugi anak putu padha, anaa dadi tuladha, ing kabecikan manusa, tiniruwa ing sujalma.
18
Sakehing wong kepengin, nira solah bawanira,marang anak putu padha, anggepe wedi asih, kinalulutan bala, kadhepa saparentahnya, tulusa mukti wibawa, ing satedhak turunira.
19
Didohna saking duraka, winantuwa ing nugraha, sakehe anak putu padha, ingkang ngimanaken samya, marang pituture bapak, Alloh ayem badanana, ing pandonganingsun mapan, ing tyasingsun wus rumasa.
20
Wekasingsun supaya surya, lingsir kulon wayahira, pedhak mring surupe uga, atebih marang imbulnya, pira lawase neng dunya, ing kauripaning jalma, masa nganti satus warsa, iya umuring manusa.
21
Mulaningsun muruk marang, ing kabeh atmajaningwang, sun tulis ngong wehi tembang, darapon padha rahaba, nggonira padha amaca sastra ngrasakna carita, aja bosen den apalna, ing rina wengi elinga.
22
Lan nuli pada elinga, kaya leluhure padha, digdaya betah ing tapa, sarta waskitha ing nara, ing kasampurnaning gesang, patitis tan kasamaran, iku ta panedhaning wang, kang muga kelakonana.
23
Titi tamating carita, serat weweling mring putra, kang karya serat punika, Jeng Sunana Pakubuwana, Surakarta ping sekawan, ing ngalin panedhanira, kang amaca kang amiyarsa, yen lali muga elinga.
TAMATING PAMANGUN
Telasing panuratira, ping Rong Puluh ing Muharam Kamis Pon Taun Jimawal. Bumi Karta Saptaringrat (1741). Kapitu Adidaha, obah kawula.